SENDIRI - DAMAI - BERDAMAI

Source
Malam sepertinya telah menjadi teman bagi sebagian orang, juga aku. Diamnya tak pernah membuat kikuk, justru menjadi saksi bisu – bagi hal-hal yang mungkin hampir sulit aku jumpai selain pada malam yang selalu mengingatkan bahwa akhirnya aku sendiri.

Menjadi sendiri mungkin merupakan beberapa di antara hal-hal yang paling ditakutkan orang kebanyakan. Takut hilang dalam kerumunan, takut tidak mendapat kasih sayang atau se-sederhana takut akan dirinya sendiri. Tapi, apakah alasan itu bisa diterima? Mungkin bisa bagi sebagian kalangan, seperti aku yang takut menjadi sendiri - tanpa keluarga, teman atau pasangan. Apakah benar menjadi sendiri selalu se-menyeramkan itu? Atau mungkin kita yang terlalu terbiasa membuat harapan-harapan yang mendorong sugesti bahwa sendiri itu tidak menyenangkan? Ah, aku terlalu banyak menggunakan kata mungkin untuk menerka-nerka probabilitas yang juga mungkin sebenarnya tidak bisa digeneralisir dalam hal ini.

Hari ini, aku sedang mencoba berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan jawaban bahwa aku tidak akan pernah selalu bersama-sama dengan orang lain, termasuk dengan mereka yang disebut keluarga. Berdamai memang tidak pernah mudah – berdamai dengan kenyataan, berdamai dengan orang lain yang berbeda atau berdamai dengan diri sendiri. Memang tidak pernah mudah, setidaknya tidak bagiku. Tapi, tidak mudah bukan berarti tidak mungkin, setidaknya kata-kata itu yang dapat menjaga optimisme untuk percaya bahwa berdamai dengan kesendirian adalah kemungkinan yang mungkin.

Berdamai dengan diri sendiri merupakan fase yang paling berat bagiku, mungkin juga bagi sebagian orang. Bukan karena aku merupakan sosok yang keras kepala atau arogan, hingga dirinya sendiri tidak bisa berjalan bersebelahan. Bukan, bukan itu, justru karena aku telah melewati fase yang lainnya – yang mungkin juga sama-sama beratnya – seperti berdamai dengan kenyataan bahwa aku telah kehilangan ayah, berdamai dengan kenyataan bahwa sebenarnya aku telah kehilangan sosoknya bertahun-tahun sebelum ia tiada. Kemudian berdamai dengan kenyataan bahwa hidup tidak lagi semudah sebelumnya, bahwa aku harus bergelut dengan “kehidupan yang sebenarnya” dalam waktu yang tiba-tiba. Mungkin aku terkesan tidak bersyukur atau bahkan terkesan seperti anak manja. Ya, tapi begitulah caraku berdamai, dengan menerima dan terus menjalani hidup serta bersyukur bahwa hidupku tidak sesulit sebagian orang di luar sana. Atau mungkin bisa se-sederhana berdamai dengan menyadari bahwa beberapa orang berbeda dan hampir sulit bila kita mengharuskan ada dalam posisi mereka atau sebaliknya.

Tapi tetap, berdamai dengan diri sendiri merupakan hal yang tidak mudah, tidak sampai saat ini. Berdamai bahwa saat ini aku masih sendiri, bahwa terkadang aku ingin kembali – kepada saat-saat yang dulu justru menyakiti walaupun tidak sedang sendiri dan bahwa beberapa teman datang dan pergi. Dan pada akhirnya, aku harus tetap berdamai dengan diri sendiri, bukan karena aku harus tapi karena aku mau. Mungkin memang aku takut sendiri, takut ditinggalkan, takut tidak ada yang menemani atau takut rindu akan hal remeh-temeh seperti memiliki pasangan.

Pada akhirnya juga, aku menemukan bahwa ternyata sendiri tidak se-menakutkan itu. Seperti malam ini aku yang sendiri tapi justru dapat berbagi. Aku memang sendiri, tapi sebenarnya aku tidak pernah benar-benar sendiri. Setidaknya tidak karena aku ditemani suara jangkrik, suara dari televisi dan sesekali suara angin yang menyapa dedaunan di luar rumah. Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar sendiri, setidaknya tidak karena pikiranku berkata demikian. Setidaknya tidak karena begitulah caraku berdamai dengan kesendirian.


Terima Kasih Kamu, untuk Warna Baruku yang Kelabu

Source
Hai, kamu! Iya, kamu yang selalu senang membiaskanku, menjadi ambigu, membawaku lari sembari menggenggam tanganku kemudian hilang. Apa kabarmu? Kabarku? Aku masih di sini, ditemani peluh yang dulu dan sampai sekarang tetap menjadi keluh. Aku selalu mendoakan untuk kelebihbaikanmu.

Sudah lama rasanya tak melihatmu, melihat wajah yang tidak pernah lelah tersenyum—senyum yang selalu menenangkanku. Masih samakah wajah itu? Masih samakah senyum tulusmu? Mungkin tiada yang berubah dari semua yang kamu miliki, hanya kepada siapa kamu memberikannya yang menjadi berbeda.

Hai, kamu! Iya, kamu yang abu-abu, yang tak pernah menampakkan warna aslimu. Aku tetap di sini (barangkali kamu ingin tahu), berdiam di titik yang sama—tempat kamu meninggalkanku, sambil sesekali menengok ke belakang. Memandangi jejak-jejak yang pernah kita buat. Ya, aku baik-baik saja, bahkan terlalu baik untuk seseorang yang baru saja ditinggalkan.

Hai, kamu! Aku ingin berterima kasih kepadamu. Terima kasih untuk kebaikan hatimu, bersedia memberikan beberapa bulan waktu berhargamu yang mungkin tak lebih dari sekadar upayamu mengasihaniku. Izinkanlah aku berterima kasih atas segala hal yang telah kamu berikan.

Aku masih ingat setiap jalan yang kita lalui, setiap tempat yang kita singgahi, bahkan setiap pakaian yang kamu kenakan. Masih juga jelas di benakku ritual setiap akhir pekan yang selalu kita lakukan. Kamu memintaku menemanimu membeli film-film kesukaanmu, kemudian menontonnya bersama di rumahmu. Tak jarang kita tertidur di tengah film untuk kesekian kalinya dan selalu aku yang  terbangun lebih dulu pada keesokan harinya. Hari yang membuatku bahagia, menjadi orang pertama yang melihat wajah teduh lelapmu sebelum dicuri matahari.

Masih juga teringat kebiasaan kita yang sering mencuri kesempatan untuk bercumbu—di atas motor yang sedang aku kendarai, di dalam bioskop, di ruang tamu orang tuamu. Lucu rasanya, setiap tempat memberi kesan berbeda. Berbeda tetapi sama, sama-sama tak dapat kita ulangi.

Oh ya, apa kabar dengan tukang bakso langgananmu? Masihkah menjadi tukang bakso favoritmu? Atau kamu sudah temukan yang baru?

Aku masih ingat semuanya, bagaimana denganmu? Masihkah ingat dengan pertemuan pertama kita di tukang bakso itu? Ah, maaf, selalu seperti ini. Selalu aku yang ingin tahu apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Kamu tidak perlu menjawabnya, sungguh, tidak perlu. Karena aku tahu kamu pasti akan menggoreskan tinta abu-abu kepadaku. Warna yang hanya diketahui maknanya olehmu.

Hari ini, kita tak lagi bersama, tak lagi berdampingan. Tunggu, bukankah memang kita tak pernah berdampingan? Entah karena kamu yang selalu malu atau aku yang memalukan, hingga berjalan di sampingku membuatmu enggan. Kamu selalu berjalan mendahuluiku,  namun hari ini punggungmu tak lagi terlihat, tidak juga dari kejauhan. Mungkin kamu sudah menemukan jalan baru, jalan yang tidak lagi abu-abu.

Bila kamu membaca ini, aku harap kamu tidak mengasihaniku. Tak perlu  mengingatku dengan rasa iba, karena aku baik-baik saja. Hanya ucapan terima kasih dengan sedikit rindu yang ingin kusampaikan. Tetaplah pergi mengangkat sauh ke tanah yang jauh. Cukup tinggalkan saja harum minyak wangimu yang khas itu. Bila memang kita ditakdirkan bertemu kembali, harummu sudah cukup menjadi petunjuk ke mana aku bisa menggapaimu, sekali lagi.


Terima kasih, kamu—untuk warna baruku yang kelabu.

Stasiun Kereta, Bakso Malang dan Pipi Merah

Source

Plak! Tamparan keras rasa-rasanya baru saja menghampiri pipi tembam ini. Seperti cerita orang-orang yang sedang melamun kemudian seorang teman iseng membangunkan lamunannya dengan sebuah tamparan di pipi. Tak enak rasanya, ingin ku balas dalam hati berkata. Tapi, teringat dulu Ibu pernah berpesan  bahwa tidak baik melamun di siang bolong. Ku urungkan niat balas dendam karena membuyarkan kesenangan sesaat pada waktu itu.

Hobi menonton FTV (Film Televisi) entah kenapa terkadang membuat khayalan-khayalan babu yang sering orang buat sebagai candaan muncul. Khayalan ingin mengalami cerita-cerita lucu dan manis seperti yang disuguhkan alur cerita FTV yang terkadang memang tidak masuk akal, tapi menghibur. Sifat optimis yang selalu tertanam sejak dulu ternyata membawa berkah yang entah bagaimana caranya membawaku ke dalam cerita-cerita yang dulu ku pikir mustahil ada di kehidupan nyata.

Waktu itu hari yang melelahkan untuk seorang mahasiswa semester 5 yang juga nyambi sebagai pekerja pada waktu yang bersamaan. Pagi harinya menimba ilmu, siang hingga malamnya mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan sedikit untuk keluarga. Tak pernah ada waktu untuk cinta, kata-kata yang sering menjadi ledekkan teman-teman. Ya, memang hal itu tak pernah menjadi prioritas pada saat itu. Mungkin kata-kata Tuhan suka bercanda itu bukan ungkapan jenaka semata. Nyatanya, di situasi yang sepertinya tidak memungkinkan untuk membagi waktu ke hal-hal yang aku anggap remeh-temeh, Yang Maha Memberi, secara tiba-tiba mempertemukanku dengan orang yang bahkan tak pernah tersirat dalam benakku.

Tukang bakso Malang di depan Stasiun menjadi saksi bagaimana kisah singkat itu bermula. Rasa lapar sepulang kerja sudah tak lagi bisa berkompromi. Cacing-cacing yang mungkin hidup di dalam perut buncit ini sudah menagih haknya untuk dipenuhi. Tukang bakso Malang yang memang biasa berjualan di depan stasiun menjadi satu-satunya pilihanku. Uang yang tak seberapa tersisa di dompet akhirnya berpindah ke tangan si abang tukang bakso, selain dalih untuk menghindari perut ini semakin buncit, bakso Malang yang memang tidak terlalu bikin perut sesak menjadi pilihan terbaik. Di luar dugaan, ternyata cacing-cacing yang tidak mau berkompromi menunjukkan maksud aslinya kenapa aku diharuskan berhenti sejenak sebelum pulang dan menyantap bakso Malang depan Stasiun itu. Secara tiba-tiba, seperti Tuhan yang suka bercanda seketika, seseorang yang cukup mengalihkan rasa laparku itu datang duduk tepat di sebelah tempat aku duduk di atas bangku plastik hijau yang sudah mulai reot, entah karena memang bangkunya sudah rusak atau karena ia tak kuat menahan beban berat badanku, tapi ya sudahlah.

Sekitar dada rasanya tiba-tiba berdegup terburu-buru, posisi dudukpun sudah tak bisa tenang seperti pertama tadi, ada apa ini? Siapa dia? Bagaimana bisa? Banyak pertanyaan yang tiba-tiba bermunculan seperti jagung yang baru berubah menjadi Popcorn, meletup-letup sampai keluar dari wadahnya. Pesanan bakso sudah siap, entah kenapa jadi kalang kabut,  terlalu banyak yang dipikirkan, sampai bingung harus makan seperti apa. Ya, berlebihan rasanya, aku juga tak kenal siapa diriku. Aneh! Berlebihan! Tapi lucu, sudah lama rasanya tak pernah mengalami hal-hal menggelikan, menjadi canggung, tapi senang. Eh! Tunggu dulu, seingatku memang belum pernah terjadi momen semacam itu atau mungkin pernah hanya saja tak pernah se-senang mendapatkan kejutan waktu bukan di hari ulang tahunmu, mau lompat-lompat rasanya, tapi malu. Kegembiraan itu ternyata hanya sebentar, baksonya sudah habis, ritual merokok setelah makan juga sudah selesai, mau ajak berkenalan tapi takut, juga tersipu, harus apalagi pikirku. Akhirnya kami berpisah di sana, aku pergi ke tempat parkir langgananku sedangkan ia juga demikian.


Perjalanan pulang tidak lagi seperti biasanya, senyum-senyum sendiri sambil terkadang diselingi teriakan-teriakan dari lagu melalui headset yang kupasang untuk menemani perjalanan pulang. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul lagi, siapa dia? Tinggal dimana? Apa mungkin ada kesempatan lain kami bisa bertemu lagi? Benar-benar gemas rasanya. Akhirnya sampai juga di rumah! Ucapku bersyukur saat itu setelah melalui hari yang cukup melelahkan. Ritual bersih-bersih dan teman-temannya tak lupa aku lakukan sebelum merebahkan tubuh lelah dan berat ini ke atas kasur tipis di kamar. Tak lama, handphone berbunyi tanda pesan dari seseorang melalui Line. Kaget bukan main rasanya, mau berguling-guling di kasur karena terlampau kesenangan, tapi tetap, malu! Khayalan babu yang dulu pernah dibuyarkan ternyata bukan lagi mustahil terjadi di kehidupan nyata. Ah! Senang sekali! Ternyata itu dia, bertanya “lo yang tadi di tukang bakso Malang di depan stasiun, ya?”.