Terima Kasih Kamu, untuk Warna Baruku yang Kelabu

Source
Hai, kamu! Iya, kamu yang selalu senang membiaskanku, menjadi ambigu, membawaku lari sembari menggenggam tanganku kemudian hilang. Apa kabarmu? Kabarku? Aku masih di sini, ditemani peluh yang dulu dan sampai sekarang tetap menjadi keluh. Aku selalu mendoakan untuk kelebihbaikanmu.

Sudah lama rasanya tak melihatmu, melihat wajah yang tidak pernah lelah tersenyum—senyum yang selalu menenangkanku. Masih samakah wajah itu? Masih samakah senyum tulusmu? Mungkin tiada yang berubah dari semua yang kamu miliki, hanya kepada siapa kamu memberikannya yang menjadi berbeda.

Hai, kamu! Iya, kamu yang abu-abu, yang tak pernah menampakkan warna aslimu. Aku tetap di sini (barangkali kamu ingin tahu), berdiam di titik yang sama—tempat kamu meninggalkanku, sambil sesekali menengok ke belakang. Memandangi jejak-jejak yang pernah kita buat. Ya, aku baik-baik saja, bahkan terlalu baik untuk seseorang yang baru saja ditinggalkan.

Hai, kamu! Aku ingin berterima kasih kepadamu. Terima kasih untuk kebaikan hatimu, bersedia memberikan beberapa bulan waktu berhargamu yang mungkin tak lebih dari sekadar upayamu mengasihaniku. Izinkanlah aku berterima kasih atas segala hal yang telah kamu berikan.

Aku masih ingat setiap jalan yang kita lalui, setiap tempat yang kita singgahi, bahkan setiap pakaian yang kamu kenakan. Masih juga jelas di benakku ritual setiap akhir pekan yang selalu kita lakukan. Kamu memintaku menemanimu membeli film-film kesukaanmu, kemudian menontonnya bersama di rumahmu. Tak jarang kita tertidur di tengah film untuk kesekian kalinya dan selalu aku yang  terbangun lebih dulu pada keesokan harinya. Hari yang membuatku bahagia, menjadi orang pertama yang melihat wajah teduh lelapmu sebelum dicuri matahari.

Masih juga teringat kebiasaan kita yang sering mencuri kesempatan untuk bercumbu—di atas motor yang sedang aku kendarai, di dalam bioskop, di ruang tamu orang tuamu. Lucu rasanya, setiap tempat memberi kesan berbeda. Berbeda tetapi sama, sama-sama tak dapat kita ulangi.

Oh ya, apa kabar dengan tukang bakso langgananmu? Masihkah menjadi tukang bakso favoritmu? Atau kamu sudah temukan yang baru?

Aku masih ingat semuanya, bagaimana denganmu? Masihkah ingat dengan pertemuan pertama kita di tukang bakso itu? Ah, maaf, selalu seperti ini. Selalu aku yang ingin tahu apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Kamu tidak perlu menjawabnya, sungguh, tidak perlu. Karena aku tahu kamu pasti akan menggoreskan tinta abu-abu kepadaku. Warna yang hanya diketahui maknanya olehmu.

Hari ini, kita tak lagi bersama, tak lagi berdampingan. Tunggu, bukankah memang kita tak pernah berdampingan? Entah karena kamu yang selalu malu atau aku yang memalukan, hingga berjalan di sampingku membuatmu enggan. Kamu selalu berjalan mendahuluiku,  namun hari ini punggungmu tak lagi terlihat, tidak juga dari kejauhan. Mungkin kamu sudah menemukan jalan baru, jalan yang tidak lagi abu-abu.

Bila kamu membaca ini, aku harap kamu tidak mengasihaniku. Tak perlu  mengingatku dengan rasa iba, karena aku baik-baik saja. Hanya ucapan terima kasih dengan sedikit rindu yang ingin kusampaikan. Tetaplah pergi mengangkat sauh ke tanah yang jauh. Cukup tinggalkan saja harum minyak wangimu yang khas itu. Bila memang kita ditakdirkan bertemu kembali, harummu sudah cukup menjadi petunjuk ke mana aku bisa menggapaimu, sekali lagi.


Terima kasih, kamu—untuk warna baruku yang kelabu.

4 komentar: